asahan ( berita kesehatan )
Peneliti flu babi (H1N1) dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr C.A. Nidom drh M.Kes menilai pandemi flu babi “gelombang kedua” mengkhawatirkan, karena korban meninggal akan lebih banyak. “Pernyataan darurat tentang flu babi yang dilontarkan Presiden AS Barack Obama itu benar, karena pandemi flu babi sekarang tinggal satu step (tahap) lagi,” katanya di hadapan 200 peserta seminar internasional di kampus C Unair Surabaya.
Menurut dia, tahap atau gelombang kedua dari pandemi flu babi yang mengkhawatirkan dunia adalah bila virus flu babi yang ada sudah menular ke hewan, bukan hanya menular ke manusia seperti saat ini.
“Jadi, hanya satu tahap lagi akan lebih ganas, karena korban akan lebih banyak. Kalau sudah menular dari hewan ke manusia dan kembali ke hewan (bukan babi) akan lebih ganas, karena manusia akan mengonsumsi hewan-hewan itu,” katanya.
Ketika ditanya apakah flu babi sudah termasuk penyakit zoonosis (bermutasi antar hewan), ia mengatakan hal itu bisa dilihat dari kemampuannya menularkan flu ke binatang lain atau antar spesies, sehingga terjadi mutasi.
Selain membahas flu babi dan flu burung dari segi medis, seminar dalam rangka Lustrum XI Unair itu juga membahas kedua penyakit tersebut dari segi sosial dengan pembicara Prof. Dr. Mustain, Drs., M.Si., (Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik).
Prof Mustain memandang sosialisasi pemberantasan dan pencegahan virus flu burung dan flu babi di Indonesia mendapat beberapa tantangan.
“Misalnya, konsep diri tentang sakit yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Seseorang akan merasa sehat-sehat saja, padahal dokter mendiagnosa dirinya telah menderita penyakit, sehingga orang tersebut tidak mempercayai dokter,” katanya.
Tantangan lain yang sering muncul adalah social habit di masyarakat yang bertentangan dengan kesehatan, seperti gemar mengadu ayam, kebiasaan minum darah ayam sebagai obat di beberapa daerah, dan sebagainya.
“Komunalitas sosial di Indonesia juga memperkuat tantangan tersebut. Masyarakat Indonesia yang komunal membuat anggota masyarakat mengikuti adat dan kebiasaan yang berlaku untuk menghindari pandangan aneh,” katanya.
Ia menilai ayam, burung, unggas, dan ternak lain pun sering menjadi lebih dari sekedar ternak. Mereka memiliki apa yang disebut social value (nilai sosial) menjadi harta atau tabungan bagi seseorang.
“Bagi masyarakat Jawa misalnya, burung perkutut memiliki simbol keberuntungan dan kemakmuran, sehingga seseorang tidak ingin berpisah dengan perkututnya, apalagi jika sampai dimusnahkan,” katanya.
Oleh karena itu, sebelum menyosialisasikan program pencegahan flu babi dan flu burung, pembuat kebijakan harus bisa menembus tantangan sosial budaya tersebut.
Selasa, 10 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)